• LinkedIn
  • Join Us on Google Plus!
  • Subcribe to Our RSS Feed

Sabtu, 15 September 2012

Halal Bihalal dan kisah Sosok Pemimpin yang menyesali dalam melayani masyarakat

05.02 // by Abd Ghofar Syarief // No comments

     HALAL BIHALAL                                                                                                         
     DAN SEUNTAI KISAH SAHABAT NABI                                                    (Sosok pemimpin yang menyesali kelalaiannya melayani warganya)

Halal bi halal merupakan salah satu tradisi keagamaan suku jawa di Indonesia yang dipengaruhi oleh akulturasi budaya jawa dengan Agama Islam, dikarenakan beberapa daerah di Indonesia Agama Islam disebarkan oleh orang jawa keturunan Arab seperti Wali Songo, bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam. Halal bi halal yakni dhiddul haram (lawan dari haram), ia merupakan refleksi dari pelaksanaan ibadah Ramadhan hingga merayakan hari Raya Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian atau kembali ke asal kejadian, tidak ubahnya seperti kelahiran seorang anak, dalam pandangan Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, diibaratkan secarik kertas putih,  kelak orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.
Dalam kenyataannya, memang perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu ada usaha serta upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya, karena kita menyadari bahwa yang paling sering dilakukan kita sebagai hamba Allah SWT  adalah kesalahan. Ramadhan hingga beridul Fitri merupakan momen penting ajaran Islam sebagai penghapus kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Karenanya Ramadhan hingga halal bi halal-pun sesuatu yang sepatutnya tertanam akan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Satu hal, bagaimana kiranya hamba Allah SWT dapat saling memberi kasih sayang.  Hal ini sebaiknya mengetahui kisah sosok pemimpin supaya menjadi pelajaran,  dimana sahabat Umar Bn Khottob memperlakukan masyarakat dan warganya dengan kasih sayang hingga sosoknya dikenal :
1.   seorang pemimpin yang memelihara prinsip tawaru atau saling menjaga diri dari sikap tidak baik, dan
2.   seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani warganya.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, apakah sakit? tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.”  Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.  Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar. Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”  Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih. Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”  Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum, Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.  Wallahua’lam bish-showab.

04.57 // by Abd Ghofar Syarief // No comments


HALAL BIHALAL                                                                                                         DAN SEUNTAI KISAH SAHABAT NABI                                                                 (Sosok pemimpin yang menyesali kelalaiannya melayani warganya)

Halal bi halal merupakan salah satu tradisi keagamaan suku jawa di Indonesia yang dipengaruhi oleh akulturasi budaya jawa dengan Agama Islam, dikarenakan beberapa daerah di Indonesia Agama Islam disebarkan oleh orang jawa keturunan Arab seperti Wali Songo, bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam. Halal bi halal yakni dhiddul haram (lawan dari haram), ia merupakan refleksi dari pelaksanaan ibadah Ramadhan hingga merayakan hari Raya Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian atau kembali ke asal kejadian, tidak ubahnya seperti kelahiran seorang anak, dalam pandangan Islam, tidak dibebani dosa apapun. Kelahiran seorang anak, diibaratkan secarik kertas putih,  kelak orang tuanya lah yang akan mengarahkan kertas putih itu membentuk dirinya.
Dalam kenyataannya, memang perjalanan hidup manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu ada usaha serta upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya, karena kita menyadari bahwa yang paling sering dilakukan kita sebagai hamba Allah SWT  adalah kesalahan. Ramadhan hingga beridul Fitri merupakan momen penting ajaran Islam sebagai penghapus kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Karenanya Ramadhan hingga halal bi halal-pun sesuatu yang sepatutnya tertanam akan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Satu hal, bagaimana kiranya hamba Allah SWT dapat saling memberi kasih sayang.  Hal ini sebaiknya mengetahui kisah sosok pemimpin supaya menjadi pelajaran,  dimana sahabat Umar Bn Khottob memperlakukan masyarakat dan warganya dengan kasih sayang hingga sosoknya dikenal :
1.   seorang pemimpin yang memelihara prinsip tawaru atau saling menjaga diri dari sikap tidak baik, dan
2.   seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani warganya.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, apakah sakit? tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.”  Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.  Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar. Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”  Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih. Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”  Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum, Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.  Wallahua’lam bish-showab.