HALAL BIHALAL
DAN SEUNTAI KISAH SAHABAT NABI (Sosok
pemimpin yang menyesali kelalaiannya melayani warganya)
Halal bi halal merupakan salah satu tradisi keagamaan suku
jawa di Indonesia yang dipengaruhi oleh akulturasi budaya jawa dengan Agama
Islam, dikarenakan beberapa daerah di Indonesia Agama Islam disebarkan oleh
orang jawa keturunan Arab seperti Wali Songo, bentuknya memang khas Indonesia,
namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam. Halal bi halal yakni dhiddul haram
(lawan dari haram), ia merupakan refleksi dari pelaksanaan ibadah Ramadhan
hingga merayakan hari Raya Idul Fitri
yang memiliki arti kembali kepada kesucian atau kembali ke asal kejadian, tidak
ubahnya seperti kelahiran seorang anak, dalam pandangan Islam, tidak dibebani
dosa apapun. Kelahiran seorang anak, diibaratkan secarik kertas putih, kelak orang tuanya lah yang akan mengarahkan
kertas putih itu membentuk dirinya.
Dalam kenyataannya, memang perjalanan hidup
manusia senantiasa tidak bisa luput dari dosa. Karena itu, perlu ada usaha
serta upaya mengembalikan kembali pada kondisi sebagaimana asalnya, karena kita
menyadari bahwa yang paling sering dilakukan kita sebagai hamba Allah SWT adalah kesalahan. Ramadhan hingga beridul
Fitri merupakan momen penting ajaran Islam sebagai penghapus kesalahan dan dosa
yang telah diperbuatnya. Karenanya Ramadhan hingga halal bi halal-pun sesuatu
yang sepatutnya tertanam akan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi
kasih sayang.
Satu hal, bagaimana kiranya hamba Allah SWT
dapat saling memberi kasih sayang. Hal
ini sebaiknya mengetahui kisah sosok pemimpin supaya menjadi pelajaran, dimana sahabat Umar Bn Khottob memperlakukan
masyarakat dan warganya dengan kasih sayang hingga sosoknya dikenal :
1. seorang
pemimpin yang memelihara prinsip tawaru atau saling menjaga diri dari sikap tidak
baik, dan
2. seorang
pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani warganya.
Pada suatu malam
di bulan Ramadhan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah
gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih
terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan
seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu
menangis terus, apakah sakit? tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab,
“Tidak, dia menangis karena kelaparan.” Umar
melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan
si ibu sedang memasak. Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si
ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya. Betapa terpananya Umar ketika melihat isi
kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar. Ibu itu menjawab,
“Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang
dapat saya lakukan sampai tuan datang.” Terharu
Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih. Saat itu pembantunya
mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu
dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?” Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini
ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk
melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan
itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya
mengambil sepikul gandum, Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya
yang sedang kelaparan. Wallahua’lam
bish-showab.